Kepada para Bapak: Jangan Sampai Anak Kita Punya Bapak Online!

Rio Pale
3 min readFeb 19, 2024
Photo by Liane Metzler on Unsplash

Ada kalanya bagi saya dan istri saya merasa patah hati ketika harus menegur, ‘memarahi’ anak kami yang masih 3 tahun. Ada rasa terlalu galak, kejam, dan bahkan kami khawatir ada masalah yang akan timbul dalam diri anak kami menerima perlakuan seperti itu.

Walau begitu, mendidik anak memang perlu kerjasama. Jika ibu adalah madrasah pertama, maka ayah adalah kepala sekolahnya. Ayah harus memberi dukungan moral-finansial untuk mendidik anak, ibu harus melaksanakan pendidikan dengan baik untuk kedua anak mereka. Bahkan, ayah harus punya pegangan kemana arah pendidikan anak dilaksanakan oleh keduanya.

Ya, pendidikan anak harus dilakukan oleh kedua orang tua, bukan hanya ibu. Saya mengusap wajah mengetik kalimat barusan mengingat betapa banyak alpanya saya mendidik anak kami tapi benar, ayah harus terlibat dalam pengasuhan.

Beberapa pakar pendidikan anak sering mengutip data bahwa Indonesia adalah fatherless country. Saya sempat melihat dialektika mengenai cap fatherless country ini di X/twitter. Bukan tak beralasan, cap tersebut hanya dikeluarkan oleh dua tokoh dan belum pernah dikeluarkan oleh ahli di bidang terkait: Ibu Elly Risman dan Ayah Irwan Rinaldi. Meski demikian, belakangan terungkap cap tersebut bisa jadi benar; dan fenomena itu disebut: Abah Online.

Pilpres 2024 adalah salah satu pilpres yang unik. Masing-masing paslon menjalankan kampanye yang menyentuh sisi emosional netizen Indonesia. Pak Ganjar dengan tidur dan ngobrol di rumah-rumah warga, Pak Prabowo dengan wajah sedihnya ketika debat, dan Pak Anies dengan live tiktoknya yang kerap menjawab berbagai curhat netizen kepadanya. Uniknya, – saya berusaha objektif meski mendukung beliau – Pak Anies seperti tidak merencanakan live-nya di tiktok menjadi sebuah kampanye yang menguras emosi.

Saya sempat melihat salah satu sesi curhat seorang follower Pak Anies yang ingin menikah. Pernikahan adalah sebuah momen penting dalam hidup, perempuan muda dalam video tersebut bercerita setelah Pak Anies memberi pesan-pesan jelang pernikahan bahwa ‘nasihat seperti ini yang aku tunggu-tunggu dari kemarin.’ Saya tertegun mendengar hal itu. Selain apakah sudah hilang kebiasaan kita memberi nasihat dan kata-kata baik kepada sesama teman, apakah perempuan tersebut sudah betul-betul tidak memiliki sosok ayah, baik secara fisik maupun moral?

Lain waktu seorang teman mengirimi screenshot sebuah channel telegram dengan nama Anak Abah. Saya melihat mereka berdiskusi satusama lain tentang apakah mereka semua tetap menjadi ‘anak abah’ meski pilpres telah usai dan – katakanlah – Pak Anies kalah? Ada 600 pengguna lebih yang berdiskusi di channel tersebut, dan mungkin angka ini tidak mencerminkan semuanya secara nasional.

Saya teringat sebuah fragmen dalam hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib ra. mendapati tangan Fatimah ra.h melepuh menggiling gandum kasar. Dengan polos mereka memutuskan minta kepada Nabi, kalau-kalau ada budak yang bisa membantu mereka di rumah. Nabi lalu menjawab:

‘Bertakwalah kepada Allah, Fatimah. Tunaikanlah kewajiban Tuhanmu dan laksanakanlah pekerjaan keluargamu. Jika engkau hendak berangkat ke pembaringan, berdoalah dengan membaca tasbih sebanyak 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali. Semuanya berjumlah 100. Itu semua lebih baik bagimu daripada pembantu rumah tangga.' Fatimah berkata, ‘Aku rela (rida) atas apa yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya.' (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Tidak ada pengkhususan di bawah didikan Nabi, meski ia adalah insan paling mulia sepanjang masa. Ada kedisiplinan, kesederhanaan, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam satu jawaban itu. Beginilah Nabi mendidik anak perempuannya.

Kini kembali ke diri kita. Mungkin selamanya kita tidak akan bisa berada di level kesempurnaan Nabi dalam mentarbiyah dan mendidik keluarga. Setidaknya kita perlu memaksa diri ada untuk anak-anak kita. Saya yakin, interaksi kita dengan anak-anak kita akan menjadi core memory dalam jiwa anak sepanjang anak kita tumbuh. Jika tidak, mengapa kita masih ingat kapan pertama kali ayah/bapak/papa kita memesankan satu hal yang paling penting dalam hidup? Katakanlah itu tidak ada, tapi pasti ada satu memori dalam diri kita masing-masing ketika kita tertawa terbahak-bahak atau menangis atau malu karena orang tua kita sendiri.

Anak-anak kita adalah selembar kertas; jangan biarkan mereka menggambar sendiri. Ajari mereka menggambar keindahan dalam hidup mereka.
___
Rio Pale | Februari 2024

--

--

Rio Pale

Pria sederhana dengan pikiran rumit | sajak, cerita, opini