Dengan segala keindahannya – Ternyata ketakutan bangsa Galia nyata. Langit runtuh di dalam kepala seorang laki-laki yang tak pernah melihat langit-langit di dalam kepalanya sendiri. Hingga keruntuhan itu terasa tapi tak dikenal seberapa besar kerusakannya.
Suatu hari langit runtuh: ia pikir orang-orang akan bertepuk tangan sejumlah kata yang ia hasilkan; atau karakter ia ketik. Nyatanya kemampuan harus sejajar dengan publikasi-diri yang sulit diterima oleh tiang yang menyangga langit-langit kepalanya. Ia tidak lagi mengenal dunianya.
Maka kadang-kadang melalui percakapan yang semu pangkat empat, ia menemukan validasi: apakah ia boleh – Apakah benar jika ia menyalahkan orang tua yang telah memberinya makan? Atau meskipun demikian ia akan terus mencari cara untuk menemukan tempat duduknya kembali di semesta kepalanya sendiri.
“Aku tidak pernah sepatah ini.” Ucapnya. “Bagaimana mungkin apa yang kupercayai ternyata juga bukan aku?” Kalimat itulah yang membuat gempa tiang-tiang di dalam kepalanya, meruntuhkan langit ke atas bangunan yang tidak seberapa itu.
Ia berhadapan pada keterbatasan dan ketidaksanggupannya menatap apa yang akan datang. “Apakah pernah pelaut membuang sauh di tengah badai?” Tanyanya. “Atau apakah lebah yang berhenti hinggap di bunga ketika tak ditemukan sarangnya ketika kembali?”
Ia masuk ke dalam pikirannya yang telah diruntuhi langit. Ia duduk di samping waduk yang mendadak dibuatnya demi mencolok-colok airnya dengan batang kayu yang juga mendadak ada. “Ya, saya lelah…” ia menghela nafas, “tapi mungkin ini semua akan saya bangun lagi.”
______
Rio Pale | Bandung, 9 Oktober 2024